On 27 March 2010, in Umum, by Nashruddin Syarief
Dialog antar-agama merupakan ajaran Islam yang harus dikedepankan ketika berhadapan dengan penganut agama Yahudi dan Nashrani. Ajaran ini secara jelas disebutkan oleh al-Qur`an surat Al-’Ankabut [29] : 46:“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik.”
Dalam hal ini, para pemikir Islam menyampaikan persetujuannya. Azyumardi Azra misalnya merespon positif dialog ini dengan mengajukan trialog peradaban (Republika, 8 Nopember 2007, kolom Resonansi). Ulil Abshar Abdalla memastikan bahwa wacana dialog harus dikedepankan guna menggantikan wacana benturan peradaban yang dipopulerkan Huntington (Ulil Abshar-Abdalla, Dialog, Bukan Konfrontasi dalam Wajah Liberal Islam di Indonesia, penyunting: Luthfi Assyaukanie. Jakarta : Jaringan Islam Liberal, 2002, hlm. 55). Demikian pula Daud Rasyid dan Adian Husaini yang dikenal getol mengkritisi pemikiran dua tokoh di atas. Menurut mereka al-Qur`an telah mengajarkan dialog yang allati hiya ahsan; terbaik. Bukan sekadar mencukupkan pada metode yang dianggap baik, tetapi menuntut adanya metode yang terbaik (Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi. Jakarta : Gema Insani Press, Cet.I, 1998, hlm. 139 dan Catatan Akhir Pekan (CAP) 212 dalam www.hidayatullah.com).
Akan tetapi perdebatan senantiasa muncul ketika dialog ini ditarik ke dalam basis teologi. Itu dikarenakan sebagian pihak menilai bahwa basis teologi yang ada saat ini sangat bermasalah. Keyakinan bahwa keselamatan hanya ada pada Islam dan tidak pada agama selain Islam, telah menghambat dialog itu sendiri.
Akhir Desember 2007, misalnya, umat disibukkan dengan polemik pemikiran Islam seiring sikap Din Syamsudin, Ketua Umum PP. Muhamadiyah, yang menyetujui perayaan Natal bersama. Di awal tahun 2000-an, Budhi Munawar Rahman via gerbong JIL mengutarakan pentingnya merekonstruksi basis teologi yang ada selama ini dengan mengajukan ide “kesetaraan kaum beriman di hadapan Allah”. Hal itu menurutnya dikarenakan QS. 2 : 62 dan 5 : 69 adalah dua ayat yang menyatakan bahwa kebenaran juga ada pada agama selain Islam (Budhi Munawar-Rahman, Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama dalam Wajah Liberal Islam, hlm. 53). Dua ayat yang dimaksud adalah:
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah [2] : 62)
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Ma`idah [5] : 69)
Abd Moqsith Ghazali malah lebih berterus terang lagi menyatakan keharusan merombak basis teologi tersebut dengan mengajukan cetak biru toleransi beragama dalam konteks Indonesia. Menurutnya, sejumlah konsep purba konvensional seperti murtad, kafir, ahl al-kitab, ahl al-dzimmah, musyrik, perlu mendapatkan pemaknaan baru dan pembacaan kritis di tengah pluralitas Indonesia (Abd Moqsith Ghazali, Cetak Biru Toleransi Beragama dalam Ijtihad Islam Liberal; Upaya Merumuskan Keberagamaan yang Dinamis, penyunting : Abd Moqsith Ghazali. Jakarta : Jaringan Islam Liberal, Cet. I, 2005, hlm. 47-48).
Sementara itu, Cak Nur, dkk. sebagaimana tercermin dalam buku “Fiqh Lintas Agama”, menghendaki dialog agama yang inklusif dan pluralis, didasarkan pada afinitas bahwa Islam, Yahudi, dan Kristen berasal dari satu tradisi agama yang sama, yaitu tradisi agama Ibrahim (millah Ibrahim). Cak Nur dkk. secara provokatif menyatakan bahwa jika umat Islam menyatakan kebenaran itu hanya ada pada Islam, berarti mereka telah keluar dari millah Ibrahim. Karena Yahudi dan Nashrani dinyatakan keluar dari millah Ibrahim pun disebabkan sikap sektarianisme seperti itu (QS. 2 : 113) (Nurcholish Madjid dkk., Fiqih Lintas Agama. Jakarta : Paramadina, Cet. VII, Maret 2005, hlm. 26-28).
Antara Toleransi dan Pluralisme
Reinterpretasi terhadap basis teologi seperti diusulkan oleh kalangan pemikir muslim yang menamakan dirinya liberal, inklusif, dan pluralis seperti di atas, tampak sekali terlalu dipaksakan. Hal itu dikarenakan Islam hanya mengajarkan toleransi; sebatas menghormati agama lain. Bukan pluralisme, dalam arti mengakui kebenaran agama lain. Adanya hambatan teologis seperti diakukan oleh mereka, sebenarnya tidak berdasar sama sekali. Itu dikarenakan, sejarah Islam dan umat Islam dari sejak zaman Nabi saw hingga beberapa abad sesudahnya, termasuk hari ini, tidak pernah menemukan hambatan teologis ketika berinteraksi dengan umat antar-agama. Karena memang basis teologi yang diajarkan Islam sudah cukup jelas dan mudah untuk diaplikasikan.
Menurut Yusuf al-Qaradlawi, al-Qur`an memang telah menempatkan Yahudi dan Nashrani dalam hubungan “keturunan” dan “kekerabatan”, berakar pada agama yang satu, yang dengannya seluruh nabi diutus oleh Allah Swt. Oleh karena itu al-Qur`an sering memanggil mereka, “Wahai ahli kitab,” atau “Wahai orang-orang yang diberi kitab.” Para ahli kitab pun jika mereka membaca al-Qur`an pasti akan mendapati pujian terhadap kitab suci, rasul-rasul, dan nabi-nabi mereka. Karenanya, apabila kaum muslimin berdiskusi dengan mereka hendaklah mereka menghindari kecongkakan yang hanya akan menyakitkan hati dan membangkitkan permusuhan (Yusuf al-Qaradlawiy, al-Halal wal-Haram fil-Islam, terj. Wahid Ahmadi dkk., Halal Haram dalam Islam. Solo : Era Intermedia, Cet. I, 2000, hlm. 482-483).
Senada dengan Yusuf al-Qaradlawiy, M. Quraish Shihab juga menekankan pentingnya dialog dengan metode yang paling baik tersebut. Ia menegaskan, sebenarnya yang diharapkan dari semua pihak termasuk Ahli Kitab adalah kalimat sawa` (kata sepakat). Dan kalau ini tidak ditemukan, maka cukuplah mengakui kaum muslim sebagai umat beragama Islam, jangan diganggu dan dihalangi dalam melaksanakan ibadahnya (M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an. Bandung : Mizan, Cet. XI, Juli 2000, hlm. 357).
Kalimat sawa’ itu sendiri sebagaimana dijelaskan QS. 3 : 64 adalah pengakuan akan kemahatunggalan Allah swt yang tidak ada sekutu baginya. Maka al-Qur`an mengingatkan pelanggaran Ahli Kitab mengenai hal tersebut dalam beberapa ayat, di antaranya: “Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak. Segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.” (QS. 4 : 171). Dan dalam surat al-Maidah dinyatakan dengan tegas bahwa semua itu adalah bentuk keukufuran (pembangkangan) kepada Allah swt (QS. 5 : 72-75).
Kalimat sawa` lainnya, sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat sesudahnya, adalah keimanan terhadap semua rasul dan kitab yang dikirimkan oleh Allah Swt, termasuk di antaranya Muhammad saw. Dalam hal ini, bahkan al-Qur`an menyinggung bahwa hal tersebut sudah menjadi perjanjian “primordial” antara Allah dengan mereka, seperti halnya perjanjian “primordial” untuk hanya mengakui Allah swt sebagai satu-satunya Tuhan (QS. 2 : 146-147 dan 3 : 12).
Dari itu jelaslah bahwa sikap al-Qur`an dalam hal konsep formal teologi tegas, tanpa kompromi. Tetap menjelaskan secara qath’i mana yang benar dan mana yang salah. Untuk kemudian didialogkan dengan Ahli Kitab, tentunya dengan cara yang hiya ahsan; paling baik. Jadi, walau prinsip toleran dibangun oleh Islam dalam interaksi umat antar-agama, tetap saja konsep formal teologinya tidak diubah menjadi pluralis. Semua pihak, khususnya Ahli Kitab, dipersilahkan untuk mengambil sikap sesuai dengan kehendaknya sendiri. Karena yang benar telah jelas, dan yang salah pun telah jelas. Dan kedua-duanya pun sudah dijelaskan oleh Allah dengan sejelas-jelasnya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. 2 : 256).
Konsepsi Iman dan Amal Shalih
Dengan kerangka seperti itu; menerima toleransi dan menolak pluralisme, maka konsepsi iman kepada Allah dan hari akhir, beserta amal shalihnya sebagaimana ditegaskan QS. 2 : 62 dan 5 : 69, tidak perlu dipertentangkan lagi dengan ayat-ayat di atas. Jangan lagi berasumsi bahwa Islam, Yahudi, dan Kristen sama-sama akan masuk surga asalkan cukup beriman kepada Allah, hari akhirat, dan beramal shalih saja. Karena pertanyaannya, “Apakah umat yang menyekutukan Allah dan menolak kenabian Muhammad saw juga kitab al-Qur`an, bisa dikategorikan beriman kepada Allah dan beramal shalih?” Jawabannya tentu tidak. Karena jika benar beriman kepada Allah, pasti semua titah-Nya akan dipenuhi, termasuk beriman kepada Nabi Muhammad saw dan al-Qur`an. Karena juga jika benar beramal shalih, pasti mereka akan mengamalkan apa yang telah dititahkan Allah, termasuk menaati Nabi Muhammad saw dan al-Qur`an.
At-Thabari dalam hal ini menjelaskan:
Adapun iman Yahudi, Nashrani, dan Shabi`in yang dimaksud adalah membenarkan Muhammad saw dan apa yang dibawanya. Maka siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Muhammad, pada apa yang dibawanya, dan hari akhir, ia juga beramal shalih, seraya tidak mengubah ajarannya sampai ia meninggal, maka ia akan mendapatkan pahala amalnya di sisi Rabbnya sebagaimana dijelaskan oleh-Nya (Tafsir at-Thabari 2 : 148-149 dalam al-Maktabah as-Syamilah al-Ishdar 2).
Sementara Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat ini (QS. 2 : 62) diturunkan berkaitan dengan pujian Salman al-Farisi terhadap orang Nashrani yang suka shalat, shaum, dan beriman pada kenabian Muhammad saw, lalu dinyatakan oleh Nabi saw: “Mereka penghuni neraka.” Waktu itu Nabi saw menjelaskan bahwa keimanan Yahudi kepada Nabi Musa dan Taurat diterima sepanjang Nabi ‘Isa belum hadir. Tapi ketika Nabi ‘Isa sudah hadir maka haruslah mengikuti ajaran Nabi ‘Isa. Jika tidak, kana halikan (ia binasa), demikian ditegaskan Nabi saw. Hal yang sama juga berlaku pada orang Nashrani selama Nabi Muhammad saw belum datang. Tapi ketika Nabi saw sudah datang, dan ia tidak mengikuti ajarannya, maka kana halikan (Tafsir Ibn Katsir 1 : 284 dalam al-Maktabah as-Syamilah al-Ishdar 2). Penafsiran serupa juga dinyatakan oleh al-Alusi dalam kitab tafsirnya Ruh al-Ma’ani (Ruh al-Ma’ani 1 : 347 dalam al-Maktabah as-Syamilah al-Ishdar 2).
Adapun al-Maraghi, berkaitan dengan QS. 2 : 62 tersebut menjelaskan:
Sesungguhnya orang mukmin, apabila ia tetap dalam keimanannya dan tidak menggantinya, demikian juga orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’i, apabila mereka beriman kepada Muhammad saw, apa yang dibawanya (al-Qur`an), dan hari akhir, juga mengamalkan keshalihan, tidak mengubahnya sampai mereka meninggal dalam keadaan seperti itu, maka bagi mereka pahala amal mereka ada di sisi Tuhan mereka, tidak akan ada takut atas mereka, dan tidak akan pula mereka ditimpa kesedihan(Ahmad Mushthafa al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy. Beirut : Dar al-Fikr, t.th, Jilid 1, hlm. 134).
Dan Syeikh Muhammad Rasyid Ridla menafsirkan QS. Al-Maidah [5] : 69 sebagai berikut:
Letak korelasi ayat ini dengan ayat sebelum dan sesudahnya adalah penjelasan bahwa Ahli Kitab tidak menegakkan agama Allah, tidak pula menegakkan apa yang telah dibebankan Allah kepada mereka, baik yang parsialnya atau yang pokoknya. Mereka tidak menjaga nash-nash kitab secara keseluruhan, berani meninggalkannya secara sembunyi-sembunyi, mereka tidak beriman kepada Allah dan hari akhir dalam bentuk keimanan seperti para pendahulu mereka yang shalih, dan tidak beramal shalih seperti para pendahulu mereka itu (Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Qur`an al-Hakim as-Syahir bi Tafsir al-Manar. Berirut : Dar al-Ma’rifah, Cet. II, t.th., Juz 6, hlm. 476-477).
Di antara ayat yang terkait erat korelasinya dengan ayat 69 tersebut adalah ayat 65 dan 66 yang ditafsirkan Rasyid Ridla sebagai berikut:
Yaitu, seandainya saja mereka beriman kepada penutup para nabi dan rasul…(ayat 65) Yaitu, seandainya saja mereka menegakkan ajaran Taurat dan Injil yang diturunkan sebelumnya dengan cahaya tauhid dan keutamaan, yang memberitakan kabar gembira tentang nabi yang akan datang dari keturunan saudara mereka Isma’il (Muhammad –pen), sebagaimana telah dikatakan Musa; dan Barqalith ruh al-haq yang mengajarkan mereka segala sesuatu, sebagaimana telah dikatakan ‘Isa, dan mereka menegakkan sesudah itu apa yang diturunkan kepada mereka dari Tuhan mereka melalui lisan Nabi yang diberitakan oleh kitab-kitab mereka ini… (Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar… hlm. 460).
Dengan demikian, kedua ayat tersebut (QS. 2 : 62 dan 5 : 69) dengan sendirinya harus dipahami sebagai sebuah ajakan yang toleran dan terbuka, yakni bahwa siapapun orangnya; apakah itu muslim, Yahudi, Kristiani, atau shabi`in (penyembah bintang), mempunyai peluang yang sama untuk masuk surga dan selamat, asalkan mereka memenuhi dua syarat; beriman dan beramal shalih dengan sebenar-benarnya (“Beriman dan beramal shalih yang sebenar-benarnya” dirujukkan pada terjemahan Al-Qur`an terjemah Depag, yang kemudian memberikan keterangan dalam catatan kakinya: “Orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada Allah termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Allah.”).
Millah Ibrahim
Hal yang rancu terdapat pula dalam uraian mengenai tradisi agama Ibrahim, yang mereka sebut hanif dan muslim dengan penekanan sebuah agama “generik” yang jauh dari kesan sektarianisme dan komunalistik (agama golongan). Implikasinya, jika umat Islam hanya mengakui Islam sebagai satu-satunya agama yang benar, maka mereka sudah tidak sesuai lagi dengan millah Ibrahim, karena sudah bersikap sektarian.
Menempatkan tradisi agama Ibrahim (millah Ibrahim) dengan agama “generik”-nya dalam posisi seperti itu memang tidak terlalu salah. Hanya pembatasan agama “generik” tersebut pada hanif dan muslim, itu lagi-lagi terlalu dipaksakan. Ditambah asumsi bahwa agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw sebagai agama komunal, sama sederajat dengan Yahudi dan Nashrani. Sehingga pada akhirnya melahirkan pemahaman yang kabur terhadap pernyataan al-Qur`an bahwa Yahudi dan Nashrani telah menyeleweng.
Millah Ibrahim itu bukan hanya hanif dan muslim, tapi juga wa ma kana minal-musyrikin; bukan termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah. Karena ternyata, dari delapan ayat yang menjelaskan millah Ibrahim, satu ayat saja yang tidak menyebutkan wa ma kana minal-musyrikin plus muslim-nya. Sisanya, ketujuh-tujuhnya menyatakan muslim dan ma kana minal-musyrikin (Periksa QS. Al-Baqarah [2] : 135. Ali ‘Imran [3] : 67, 95. Al-An’am [6] : 79, 161. An-Nahl [16] : 120, 123). Jadi kalau Islam sudah menyekutukan Allah, baru Islam sudah bukan millah Ibrahim lagi. Namun karena yang musyrik itu ternyata Nashrani, maka pantaslah ia dinyatakan melenceng dari millah Ibrahim. Dan karena Yahudi juga sudah tidak muslim (berserah diri dan tunduk) dengan membangkang kepada Nabi ‘Isa dan Muhammad saw, mereka pun tidak bisa lagi dikategorikan millah Ibrahim.
Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa Islam bukan agama ‘komunal’ seorang Nabi. Ia adalah agama para nabi, dari sejak Adam a.s sampai Muhammad saw. Identitasnya tadi, hanif, muslim, wa ma kana minal-musyrikin. Dan itulah agama yang “generik” itu. Tapi pertanyaannya, apakah Yahudi dan Nashrani juga masih “generik” se-”generik” Islam yang ada hari ini? Semua tentu bisa menjawabnya